Etiskah Menjadikan Anak dan Remaja Target Market?

Advertising tell the truth while journalism tell the whole truth.

Hal tersebut telah cukup menggambarkan perbedaan periklanan dan jurnalistik. Sebagai pembawa informasi tentang berbagai peristiwa, sudah menjadi keharusan bagi setiap jurnalis untuk selalu mengutamakan kejujuran dan terus terang membuka segala yang terjadi tanpa ada yang disembunyikan. Di lain sisi, dunia periklanan juga memiliki kewajiban untuk berterus-terang tentang produk yang dipasarkan. Namun perbedaannya adalah bahwa iklan tidak akan mungkin untuk memberitahukan segalanya. Tentu saja yang dipilih untuk diinformasikan adalah hanya yang berkaitan dengan benefit dari produk yang diiklankan. Agak mustahil rasanya bila suatu iklan malahan mempublikasikan kelemahan produknya. Hal inilah yang mungkin menyebabkan banyak sekali persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa industri periklanan adalah gudang segala kebohongan.

Dunia periklanan sendiri sangat erat kaitannya dengan segmentasi dari produk yang akan diiklankan. Hal ini dimaksudkan agar iklan yang diproduksi dapat tertanam di benak target yang telah difokuskan. Nah, dewasa ini banyak sekali iklan yang melakukan targeting terhadap anak-anak dan remaja karena dianggap merupakan sasaran yang sangat tepat untuk kenaikan sales karena paling mudah dipengaruhi. Produk-produk yang termasuk di sini meliputi food and beverage, tobacco and alcohol, serta pemasangan iklan di media-media yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran anak. Beberapa contoh dapat dengan mudah kita temukan. Misalnya McDonalds yang menarik perhatian anak-anak dengan memberikan hadiah mainan setiap pembelian paket tertentu. Targeting yang dilakukan ini menciptakan beberapa kontroversi di mata para khalayak.

Pihak kontra mengatakan bahwa targeting terhadap anak-anak dan remaja akan berdampak buruk pada berbagai hal (meliputi economically, societally, dan ecologically). Seperti yang terjadi di Amerika, bahwa anak-anak telah dibombardir dengan segala pesan-pesan yang membuat mereka konsumtif sedari kecil.

Sementara argumentasi dari pihak pro adalah bahwa iklan memberikan benefit dibandingkan kerugian yang diberikan. Bahwa iklan telah membantu dalam menyajikan pilihan-pilihan mengenai produk apa yang paling bisa memenuhi kebutuhan para konsumen.

Jadi di pihak mana saya berada?

Mempertimbangkan berbagai hal di balik ini, saya lebih memilih berada di kubu kontra. Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa satu dari lima isu kontroversial yang menyebabkan suatu iklan dianggap tidak etis adalah isu mengenai anak-anak (5 controversial issues are puffery, decency, stereotyping, children, controversial product). Isu mengenai anak-anak itu sendiri meliputi violence, dangerous acts, unhealthy habits, overall materialism. Targeting terhadap anak-anak ini berkaitan erat dengan poin unhealthy habits, yakni perilaku konsumtif.

Masuknya anak-anak pada lima isu kontroversial tersebut merupakan alasan  mendasar mengapa saya memilih untuk menolak konsep targeting terhadap anak-anak. Namun ada beberapa poin lagi yang dapat dijadikan alasan lain, sebagai berikut:

Iklan bukan Refleksi Kehidupan

Suatu iklan biasanya melalui proses riset terlebih dahulu guna mencari tahu insight apa yang dapat dijadikan pedoman strategi kampanye yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pihak industri periklanan seringkali berkelit mengklaim bahwa iklannya etis dengan mengatakan bahwa apa yang disuguhkan di iklan yang bersangkutan merupakan wujud refleksi dari kehidupan sehari-hari khalayak. Padahal pada kenyataannya tidak semuanya merupakan refleksi.

Pada kenyataannya, apa yang terjadi di iklan lebih sering menjadi labeling bagi penonton yang bersangkutan. Sebenarnya ini sesuai dengan tujuan utama beriklan, yaitu mengubah perilaku target marketnya. Yang  diubah di sini maksudnya adalah perilaku keinginan membeli dan berujung pada keputusan pembelian.

John B. Watson, seorang psikolog penemu istilah behaviorisme yang mana juga berkecimpung di bidang periklanan, menyatakan pendapat bahwa apabila suatu perusahaan ingin ditanggapi oleh targetnya maka mereka harus melaksanakan iklan secara terus menerus dalam selang waktu tertentu.  Namun kini sering sekali terjadi pergeseran karena terlalu banyaknya terpaan yang dikirimkan dapat mengakibatkan khalayak kehilangan daya selektivitas. Apalagi bagi remaja dan anak-anak yang masih sangat mudah terpengaruh iklan baik secara rasional maupun emosional.

Lebih Banyak Wants dibandingkan Needs

Setiap manusia sudah tentu memiliki hal-hal yang harus dipenuhi dalam menjalani kehidupannya. Dalam ilmu periklanan hal-hal tersebut dibagi menjadi needs dan wants. Di dalam ilmu psikologi aspek yang mendukung manusia untuk melaksanakan sesuatu selalu didasarkan pada kebutuhan mereka. Inilah yang menyebabkan para pelaku iklan menjadikan faktor kebutuhan sebagai titik perhatian utama dalam menyusun sebuah kampanye.
Kebutuhan manusia salah satunya berkaitan dengan hubungan sosial yang baik dengan sesamanya. Secara psikologis tiap-tiap individu selalu menginginkan diterima oleh orang-orang di sekitarnya dan selalu nyaman dengan apa adanya dirinya. Melalui kesadaran akan hal ini, para pengiklan selalu mengingatkan kekurangan seseorang yang dapat diatasi dengan poduk yang diiklannkan, atau dengan kata lain penawaran solusi. Sehingga diharapkan akan terjadi perubahan, yakni ke arah keputusan pembelian.

Apabila murni bertujuan pemenuhan kebutuhan manusia, sebuah iklan mungkin saja dapat dikatakan etis. Namun pada masa ini kembali terjadi pergeseran bahwa yang lebih banyak ditawarkan oleh sebuah iklan adalah wants, sementara needs hampir musnah sama sekali.

Renggangnya Hubungan Orang Tua dan Anak

Ketika menyasar kepada anak-anak, pengiklan telah memperkirakan bahwa mereka akan merengek pada orangtua untuk membelikan produk yang diiklankan. Namun kebiasaan anak-anak ini bukan hanya akibat dari iklan, namun mungkin juga disebabkan oleh perlakuan tertentu dari orang tua mereka. Orang tua yang terlalu sibuk bekerja sehingga tidak punya banyak waktuuntuk anaknya akan merasa bersalah. Sekali mereka memiliki waktu bersama keluarga, tentu saja mereka tidak akan sungkan membelikan apa yang diinginkan anaknya.

Keberadaan iklan-iklan yang mendominasi dan menjejali pikiran anak-anak, semakin membuat orang tua meremehkan pemilihan produk yang baik. Kemudian hal ini berakibat pula pada semakin konsumtifnya mereka dalam mengganti waktu bersama dengan membeli berbagai produk yang belum diketahui digunakan atau tidaknya.

Dampak Jangka Panjang

Yang mungkin akan paling terpengaruh namun belum terasa dari terpaan iklan melalui targeting anak-anak ini mungkin adalah efek jangka panjangnya yang mana akan mencakup berbagai aspek.

Di lihat dari sisi ekonomis, seorang anak telah diajarkan untuk menjadi pribadi yang konsumtif semenjak kecil. Hal ini mungkin berakibat pada pengeluaran besar-besaran pada barang-barang yang sebenarnya tidak perlu dibeli. Apalagi kebiasaan ini akan ditanamkan pada anak-anak yang berarti akan tertempel di benak mereka sampai mereka dewasa.

Pada bidang kesehatan, targeting pada anak-anak dan remaja juga akan memberikan dampak jangka panjang yang buruk. Terutama pada iklan-iklan produk makanan cepat saji dan cemilan-cemilan. Anak-anak terbiasa untuk membelinya karena penawaran berbagai hadiah (mainan atau apapun) setiap pembelian produk tersebut. Sehingga sengaja ataupun tidak mereka akan mengkonsumsinya. Padahal makanan-makanan tersebut merupakan makanan yang banyak kejahatan bagi tubuh manusia dan sangat memungkinkan obesitas bila terjadi adiksi berkelanjutan.

Secara psikologis tentunya karena iklan telah mampu mengubah perilaku seseorang. Yang dipermasalahkan adalah perubahan perilaku itu berdampak negatif. Telah dibahas beberapa kali sebelumnya, bahwa iklan akan menjadikan khalayaknya bersifat konsumtif. Targeting terhadap anak-anak dan remaja akhirnya menjadikan mereka semakin menjadi. Kebiasaan membeli berbagai hal, bahkan pun ketika ia tidak membutuhkannya, akan menjadi permanen. Selain itu banyaknya terpaan iklan pada mereka akan mendidik mereka menjadi seorang yang terlalu labil. Padahal sebelumnya anak-anak dan remaja memang merupakan target empuk dari periklanan karena sifat mereka yang sangat mudah dipengaruhi. Keberadaan iklan semakin menjadi labeling bagi sifat tersebut dan membentuk mereka menjadi pribadi yang kekurangan loyalitas terhadap sesuatu.

Lepas dari segala perihal di atas, etis atau tidaknya konsep targeting terhadap anak-anak dan remaja, orang tua memiliki peran yang sangat besar sebagai pemegang kendali dan panutan dalam sebuah keluarga. Orang tua memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan mendampingi anak-anaknya dalam setiap pembelian produk, yang mana yang perlu dan yang mana yang tidak. Menjadi orang tua berarti menjadi pusat pendidikan pertama seorang anak. Maka ada baiknya memberikan contoh yang baik, bukan malah mengajak anak untuk mengikuti pola hidup konsumtif.

Published by

Novelia

Write for living. Tend to be interested in learning connection and interaction between creatures. Check my another features in mass media by visiting this link below: https://validnews.id/reporter/novelia

Leave a comment