Pembelajaran Sosial dan Demonstrasi

Televisi, sebagai salah satu bentuk media massa, memiliki keistimewaan dibandingkan dengan media massa-media massa lainnya.Dibandingkan dengan radio yang hanya menyuguhkan bentuk audio dan surat kabar yang ada dalam bentuk visual, yaitu teks dan gambar-gambar tidak bergerak sebagai penunjangnya, televisi secara lebih komprehensif menyajikan perpaduan antara audio dan visual melalui gambar bergerak dan penjelasan penunjang yang bisa berbentuk teks maupun audio. Dengan kelebihan ini, tentunya televisi memberikan kepada kita pelajaran yang lebih detail, dan memungkinkan kita untuk memahami suatu peristiwa ataupun gambaran sesuatu secara lebih jelas.

‘Kelengkapan’ kemampuan televisi ini salah satunya dapat dihubungkan dengan penyiaran berita dan realitas sosial yang menjadi tugas dari media massa. Terkait dengan soal, berita seperti kerusuhan atau demonstrasi, apabila disampaikan melalui radio ataupun surat kabar, tentunya akan memaksa kita untuk kembali berimajinasi atau membayangkan seperti apa kejadian yang sebenarnya terjadi. Namun melalui televisi, melalui liputan-liputan ke tempat kejadian perkara, tidak meninggalkan kita dalam dunia pengandaian. Televisi memberikan gambaran utuh bagaimana demonstrasi itu terjadi, bahkan disertai penjelasan oleh teks dan reporter stasiun televisi terkait. Akibatnya gambaran kita akan peristiwa demonstrasi akan semakin jelas dan sempurna. Pertanyaannya adalah, apakah pembelajaran yang baik atas kita yang dilakukan oleh televisi ini akan memberikan efek pada kita sebagai audiensnya, terutama apabila tayangan dengan topik/tema yang sama disajikan berulang kali?

Atas pertanyaan ini, penulis menyatakan setuju bahwasanya tayangan-tayangan berita tertentu yang ada di televisi akan memberikan efek pada para audiensnya, terutama apabila disajikan berulang dan di berbagai stasiun televisi, misalnya. Apalagi seringkali tayangan yang disajikan juga memperlihatkan kekerasan yang terjadi pada bentrok antara para demonstran dan aparat pengaman. American Psychological Association (2003) menyimpulkan bahwa heavy viewer dari kekerasan yang didemonstrasikan (dalam televisi) akan meningkatkan penerimaan akan sikap dan perilaku agresif (Wartella : 1998). Namun mungkin derajatnya akan tergantung kepada ideologi atau kecondongan individu terhada isu tertentu, dalam hal ini yaitu tema yang diangkat pada tiap peristiwa demonstrasi (alasan mengapa demonstrasi tersebut dilakukan). Efek untuk menurunnya pembelajaran tersebut ke arah perilaku yang nyata mungkin akan semakin besar apabila perhatian audiens bersangkutan terhadap isu tersebut semakin mendalam.

dmo

Penulis juga menemukan fakta-fakta yang menggambarkan rentetan gerakan demonstrasi dalam selang waktu yang tidak terlalu jauh di tempat yang berbeda-beda, memperlihatkan pengaruh media dalam menuntun audiens untuk melakukan peniruan.

dm

Dari pemberitaan Sindonews.com, dapat kita lihat gelombang aksi buruh yang terjadi secara berentetan. Pada tanggal 20 November 2015, massa buruh tiba di Tugu Proklamasi, Menteng, setelah melakukan aksi jalan kaki (longmarch) dari Bandung ke Jakarta untuk menyuarakan tuntutannya pada Presiden Joko Widodo. Aksi ini kemudian disusul dengan rentetan aksi mogok kerja yang terjadi tanggal 24-27 November 2015. Pada tanggal 24 November 2015, sejumlah massa berkumpul di Jalan Raya Bekasi menuju Pulogadung untuk menyuarakan aspirasi dalam usaha memperbaiki nasib buruh. Di hari yang sama ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera (KSBSI) juga menggelar demonstrasi di depan Mahkamah Agung. Keesokan harinya, 25 November 2015, ribuan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah dan Gabungan Buruh Indonesia, kembali, menggelar unjuk rasa menolak PP 78/2015 tentang pengupahan. Di hari selanjutnya, 26 November 2015, para buruh kembali menjalankan demonstrasi bertempat di berbagai kantor pemerintahan, di antaranya kantor Gubernur DKI Jakarta.Penulis juga menemukan fakta-fakta yang menggambarkan rentetan gerakan demonstrasi dalam selang waktu yang tidak terlalu jauh di tempat yang berbeda-beda, memperlihatkan pengaruh media dalam menuntun audiens untuk melakukan peniruan.

Untuk membuktikan dasar argumen ini, penulis menghubungkan tayangan-tayangan demonstrasi yang terjadi pada televisi dengan Teori Pembelajaran Sosial, yang dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang akan mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitar dirinya.

Teori Pembelajaran Sosial ini sebenarnya merupakan teori berdasar psikologi yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Satu dari asumsi awal yang paling dasar dari teori ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang cukup fleksibel dan memiliki kemampuan mempelajari sikap, keahlian, dan perilaku dalam jumlah banyak. Meskipun individu mungkin saja belajar dari pengalaman-pengalaman langsung, kebanyakan justru belajar dengan mengamati individu-individu lain.

Menurut Bandura (1986), media memiliki kemampuan untuk memberikan efek langsung terhadap audiens, dan pengaruhnya tidak melulu harus diperantarai oleh pengaruh pribadi atau jejaring sosial (Bandura : 2002, hlm 140).

Berdasarkan Teori Pembelajaran Sosial, setiap tingkah laku menggunakan gambaran kognitif dan tindakan. Dasar kognitif dalam proses pembelajaran sosial ini sendiri dapat dikelompokkan ke dalam empat tahapan :

1. Perhatian (attention)

Pada tahapan ini individu harus memperhatikan perilaku ‘model’ untuk dapat dipelajari. Perhatian di sini merujuk kepada nilai, harga diri, sikap, dll. Terkait dengan kasus, tahapan ini diasosiasikan pada bagaimana audiens melihat para demonstran melakukan unjuk rasa (bagaimana gerak-gerik, nada suara dalam berdemo). Hanya dengan memperhatikan orang lain, pembelajaran dapat dipelajari (Bandura & Walters : 1963)

2. Ingatan/representasi (representation)

Selanjutnya, individu akan merekam peristiwa tersebut di dalam sistem pikirannya, sehingga apabila suatu saat ia menganggap hal tersebut perlu dilakukan, individu tersebut memiliki titik standar. Sama juga halnya dengan demonstrasi, para audiens akan mengingat seperti apa peristiwa tersebut dan menyimpannya dalam memori untuk memunculkannya kembali bila diingini.

3. Reproduksi gerak (behaviroral production/reproduction)

Setelah memperhatikan dan mengingat, selanjutnya adalah tahapan utama yaitu merujuk pada penerapan tingkah laku itu sendiri. Bagaimana audiens yang terterpa tayangan-tayangan demonstrasi mengalami perlunya melakukan hal serupa dan menunjukkan hasil perhatian dan ingatannya selama ini setelah menonton tayangan. Setelah melihat tayangan tersebut akan muncul rasa tidak mau kalah dalam diri audiens: ‘mereka bisa, kenapa kita tidak bisa?’ Akibatnya demonstrasi akan disusul dengan demonstrasi-demonstrasi selanjutnya.

4. Motivasi (motivation)

Aspek motivasi adalah penting dalam pemodelan teori Bandura ini, karena merupakan hal yang menggerakkan individu untuk melakukan penerapan dalam tahapan reproduksi gerak. Seseorang harus termotivasi agar ia memiliki keinginan untuk melakukan hal yang serupa dengan tayangan-tayangan yang menerpanya sebelumnya. Misalnya pada kasus ini, seorang buruh akan lebih terinspirasi untuk melakukan dan menggalang demo buruh karena sebelumnya melihat tayangan demonstrasi buruh dari kelompok lain, karena merasa memiliki nasib yang sama. Atau bagaimana mahasiswa-mahasiswa seolah berkompetisi menyampaikan aspirasi pada pemerintah melalui unjuk rasa setelah dipelopori salah satu kelompok aktivis universitas tertentu, yang didorong rasa ingin mendukung usaha sesame mahasiswa dalam memperbaiki bangsa.

Pada umumnya dalam era privatisasi media dimiliki dan dikendalikan oleh kepentingan bisnis tertentu, yang memiliki kekuatan cukup besar dalam masyarakat, dan oleh negara secara tidak langsung. Hal ini menyebabkan media memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang cukup besar. Namun Gans (1978, hlm 68) menyebutkan bahwa sifat berita sebenarnya tidak terlalu konservatif ataupun liberal. Hal tersebut sangat mungkin diterapkan secara meluas. Bagaimanapun media memliki komitmen untuk menjalankan tugasnya (yang mereka definisikan sendiri), serta ideologi sebagai perangsang perubahan.

Melalui tayangan-tayangan seperti berita demonstrasi, media bermaksud memperlihatkan sudah bergeraknya masyarakat sebagai khalayak aktif dalam merespons isu-isu yang ada. Lebih lanjut lagi, entah disengaja ataupun tidak, media (terutama televisi) menanamkan ide untuk di kepala para audiens untuk termotivasi melakukan hal serupa demi perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini sebenarnya memberikan dampak positif, namun di sisi lain juga menyentil sisi-sisi negatif. Sebut saja jika dalam suatu tayangan demonstrasi terselip adegan-adegan kekerasan. Apabila tayangan tersebut disajikan berulang-ulang, maka audiens akan menganggapnya sebagai hal yang wajar dan mungkin akan juga mempraktekkannya bila ia melakukan demonstrasi.

Selain itu seringkali demonstrasi juga tidak diiringi kesadaran para demonstran untuk tetap menjaga fasilitas umum. Hal ini tercermin dari seringnya upaya demonstrasi memberi dampak buruk pada lalu lintas kota – yang pada dasarnya sudah buruk. Selain itu, tidak disangkal bahwa seusai terjadinya demonstrasi, yang paling terbebani adalah para petugas kebersihan. Sudah menjadi tugas mereka untuk menjaga jalan-jalan kota untuk tetap bersih. Namun biasanya pasca demonstrasi, sangat banyak sampah yang harus mereka bereskan. Bukan hanya itu, mereka juga harus menunggu hingga demonstrasi tersebut usai, bahkan hingga efek gas air mata sudah tidak terasa lagi sehingga lebih mudah membersihkan sampahnya.

oranye

“Karena abis acara, pasti dah tuh sampahnya banyak,” ujar Suwandi, salah satu petugas kebersihan, dilansir dari salah satu artikel Kompas.com dengan judul Demo Buruh dan Kepulangan yang Tertunda.

Intinya, sebenarnya media, terutama televisi, memiliki kemampuan dalam menjelaskan suatu peristiwa, dalam kasus ini demonstrasi. Dan walaupun televisi tidak terlihat sebagai penyebab utama dari demontrasi ataupun kerusuhan yang mengandung kekerasan tersebut untuk terulang kembali, namun ia sebagai media tetap memiliki pengaruh atas konteks dan bentuk kejadian tersebut, yang memungkinkan audiensnya untuk mempelajari dan timbul perasaan kompetitif untuk melakukan hal serupa.  Sehingga dalam menghadapi kepanikan dan kekacauan sipil ini solusi yang paling tepat terhadap bahaya tersebut adalah berupa kontrol dan blokir berita (Paletz & Dunn : 1969). Dengan kata lain diperlukan adanya batasan dalam penayangan peristiwa-peristiwa yang berada dalam lingkup topik yang sama.

Referensi

Cetak :

Feist, Gregory J. & Jess. Theories of Personality (6th Edition). McGraw-Hill Education. New York : 2006

McQuail, Denis. McQuail’s Mass Communication Theory (6th  Edition). SAGE Publication. London : 2010

Nabi, Robin L. & Oliver, Mary B. (Eds). The SAGE Handbook of Media Processes and Effects. SAGE Publication. California : 2009

Publikasi Elektronik :

Demo Buruh dan Kepulangan yang Tertunda, diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2015/10/31/10575001/Demo.Buruh.dan.Kepulangan.yang.Tertunda

Demonstrasi Buruh, diakses dari http://metro.sindonews.com/topic/1791/demonstrasi-buruh

Published by

Novelia

Write for living. Tend to be interested in learning connection and interaction between creatures. Check my another features in mass media by visiting this link below: https://validnews.id/reporter/novelia

Leave a comment