Kuasa Simbolik Para Hyung Twitter

Waktu menulis esai ini, sudah tepat seminggu sejak saya kembali ke ranah percuitan alias Twitter. Sebetulnya saya sudah punya akun di media sosial ini sejak 2009, tapi setahun yang lalu saya putuskan untuk hiatus sejenak dengan cara deaktivasi. Saat itu saya muak dengan berbagai akun yang berantem dan saling bertahan dengan ke-sotoy-an masing-masing. Karena takut jadi keterusan dan tak tahan ikutan berantem, saya pun kabur dari arena itu.

Tapi apa mau dikata, akhirnya ada berbagai kebutuhan yang bikin saya kembali lagi ke pangkuan Twitter. Aroma si burung biru muda satu ini masih mirip dengan waktu saya meninggalkannya. Kelompok-kelompok penggunanya juga masih variatif dan seru diamati celotehannya. Dan di antara para pencuit, tentu saja masih banyak kawan-kawan kita yang adalah penggemar selebritas Korea.

Kelompok penggemar Korea kebanyakan suka mempromosikan grup idola mereka di lini masa masing-masing. Dan walaupun tidaksemua, ada beberapa di antara mereka yang hobi membagikan foto-foto idolanya diiringi kepsyen dengan nada menyanjung. Unggahan itu pun tak jarang bersambut oleh pemilik akun lain yang juga mengidolakan satu sosok yang sama. Ujungnya, para fans ini bisa saja saling berbalas cuitan tanpa sebelumnya saling kenal di dunia nyata.

Dalam interaksi antarpenggemar artis Korea itulah saya mengamati sedikit keunikan, yaitu bagaimana mereka acapkali memanggil satu sama lain denggan sebutan “Hyung”. Kenapa unik? Karena panggilan itu sering tidak sesuai dengan aturan bahasa Korea yang sebetulnya, di mana ia malah banyak ditujukan ke sosok tertentu, tanpa peduli usia maupun jenis kelamin. Padahal berbagai jenis panggilan dalam bahasa Korea sangat spesifik mengenai dua elemen ini, lho.

Terus terang, saya sendiri cukup menggemari beberapa sosok selebritas negara yang terkenal dengan gingsengnya itu. Yah, bisa dibilang cukup mengikuti Korean Wave lah. Dari mulai K-Pop hingga K-Drama. Tapi saya bukan tipe penggemar yang cukup percaya diri untuk melepas hasrat fanatisme saya di media sosial.

Nah, karena pengetahuan cetek saya terkait dunia industri Korea inilah saya mengerti istilah “Hyung”. Jadi kata “Hyung” adalah panggilan untuk kakak laki-laki atau sosok laki-laki yang lebih tua. Kalau di Indonesia mungkin bisa digantikan dengan “Abang”, “Mas”, atau “Aa’”. Bedanya, kalau di negara kita, panggilan-panggilan itu tidak terbatas dilakukan oleh perempuan atau laki-laki. Sementara kalau “Hyung” spesifik digunakan oleh laki-laki yang lebih muda ke laki-laki yang lebih tua. Kalau yang memanggil laki-laki yang lebih tua itu adalah perempuan yang lebih muda, kata yang semestinya dipakai bukan “Hyung”, tapi “Oppa”.

Beda lagi kalau sosok yang dipanggil itu perempuan yang lebih tua. Kalau di Indonesia kita mengenal “Mbak” dan “Teteh” yang maknanya sama, di sana ada “Unnie” dan “Noona”. Bedanya? Tentu saja lagi-lagi masalah jenis kelamin. Kata “Unnie” dipakai perempuan yang lebih muda pada perempuan yang lebih tua, sementara “Noona” ditujukan pada perempuan yang lebih tua oleh laki-laki yang lebih muda. Kalau Anda baru mengenal istilah-istilah ini, harap bersabar dengan kerumitannya, ya. Hidup adalah perjuangan.

Pengetahuan terkait tetek bengek berbagai panggilan kakak dalam bahasa Korea lalu membuat saya bertanya-tanya. Kok ada teman Twitter saya yang menyapa penggemar lain yang berjenis kelamin perempuan dengan panggilan “Hyung”? Berangkat dari rasa penasaran itu saya menggali pandangan para penggemar K-Pop di Twitter. Sebuah cuitan membuat saya menganggukkan kepala sejenak. Isinya, “Ya kalau orang lain manggil elo Hyung, itu artinya dia rispek sama lo. Tanda penghormatan aja gitu..”

Oke, masuk akal sih. Dengan penggunaan kata “Hyung”, mereka mengasosiasikan orang yang lebih tua dengan sosok yang perlu dihormati. Tapi, lho, kenapa mesti pakai “Hyung” yang notabene panggilan untuk laki-laki saja? Kenapa ketika sapaan ditujukan pada seorang penggemar K-pop perempuan, panggilannya “Hyung” juga? Kenapa bukan “Unnie” atau “Noona”?

Pengetahuan lebih luas terkait dunia Korea memberi seseorang kekuatan tersendiri dibanding penggemar lainnya, yang kemudian menjadikannya seorang “Hyung”. Itulah kenapa Mbah Foucault selalu bilang kalau pengetahuan adalah kekuasaan. Perkaranya, dengan penggunaan “Hyung”, ada stereotip yang terlanggengkan. Apalagi kalau bukan masalah gender, bahwasanyalaki-laki dinilai punya posisi yang lebih terhormat dibandingkan perempuan.

Ketika bicara soal sosok yang dihormati dan memiliki pengetahuan lebih baik, kelompok yang lebih tua dan laki-laki seolah jadi top of mind. Padahal pengetahuan dan rasa hormat seharusnya tidak berbatas pada jenis alat kelamin, kan?

Kalau kata Pierre Bourdieu, fenomena ini bisa dikategorikan sebagai praktik permainan kekuasaan, alias power play, yang dilakukan secara simbolik. Para “Hyung” jadi kelompok yang dominan dibandingkan para pemanggilnya. Tapi karena terjadi dalam bentuk yang sangat halus, praktik ini tidak mengundang resistensi. Dia malah memicu konformitas karena sudah punya legitimasi sosial dari sebagian besar populasi penggemar K-Pop, khususnya di Twitter.

Permainan kekuasaan antara para “Hyung” dan pemanggilnya akhirnya menjadi bentuk dominasi simbolik. Meski Bourdieu sering menggunakan istilah ini bergantian dengan kekerasan simbolik yang tak terlihat bekasnya secara fisik, saya lebih sreg menggunakan kata dominasi dalam fenomena ini. Soalnya, alur dominasinya justru mengalir dari pihak yang tidak mendominasi, yakni kelompok yang menggunakan panggilan “Hyung”, bukan si “Hyung” itu sendiri.

Wah, menulis bagian ini membuat saya jadi merinding. Rasanya seperti dirasuki salah satu jiwa-jiwa SJW di ranah maya. Tapi percayalah, tulisan ini saya buat tanpa maksud menyalah-nyalahkan para “Hyung” maupun para adiknya.

Buat saya, praktik sapaan ini menarik saja untuk diperbincangkan. Soalnya dunia hiburan Korea selama ini hampir selalu identik dengan kesetaraan gender. Pembicaraan mengenai dunia ini bahkan tak jarang jadi arena debat antara kelompok tertentu yang menyebut selebritas laki-laki asal negara tersebut sebagai banci, dengan persatuan feminis, kalau bukan feminazi, yang tentu saja akan melakukan  defense dan men-judge si penyerang dengan label misogini.

Saya tidak mau terlibat percekcokan yang demikian. Fenomena ini cukuplah jadi fenomena. Silakan nikmati kehidupan pro-Hyung ataupun anti-Hyung kalian masing-masing. Akhir kata, penulis mengucapkan, annyeong, haengbok haseyo!

Published by

Novelia

Write for living. Tend to be interested in learning connection and interaction between creatures. Check my another features in mass media by visiting this link below: https://validnews.id/reporter/novelia

Leave a comment