Buruh Hiburan dalam Bingkai PPKM

Holywings.

Satu nama brand yang sebenarnya sudah cukup beken ini dalam beberapa hari terakhir makin santer jadi omongan publik. Bukan karena meraih prestasi, melainkan karena tersandung polemik. Kafe bar ini, cabang yang berlokasi di Kemang lebih tepatnya, jadi bahan gunjingan warganet karena kedapatan aparat melanggar PPKM Level 3 yang tengah diterapkan di ibukota. Denda dan sanksi pelarangan kegiatan operasional pun tak terhindarkan.

Bukan rahasia lagi kalau kasus hebohnya razia Holywings Kemang kemarin ini jadi isu yang hangat diangkat media. Selain kasus ruwet bin aneh KPI seputar pelecehan dalam lingkup internal hingga pendapukan kehadiran “Bang Ipul” di televisi untuk melakukan edukasi bahaya predator, berita-berita mengenai Holywings juga tak kalah hot. Isunya pun tak hanya berhenti di media massa, tapi merembet viral ke berbagai media sosial.

Lucunya, kalau memerhatikan kebanyakan pemberitaan dan isu-isu beredar soal kasus Holywings, kita seperti hanya dihadapkan pada peperangan dua kubu, yakni pengusaha dan masyarakat.

Pengusaha yang dimaksud sebagai kelompok pertama adalah mereka yang bergerak pada usaha hiburan. Tidak bisa dimungkiri, pandemi yang bikin hampir segalanya mampet membuat bisnis usaha hiburan jadi berantakan. Berbagai pembatasan sosial yang digalakkan pemerintah mereduksi pemasukan para punggawanya secara signifikan.

Bicara usaha hiburan, ada seribuan lebih jumlahnya di Jakarta. Setidaknya pada tahun 2020 saja, terdapat 705 bar, 66 diskotek, 230 griya pijat, 268 karaoke, 8 klub malam, 43 pijat refleksi, dan 14 SPA. Dan ironisnya, Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija) sempat mencatat adanya penurunan jumlah pengunjung di tempat hiburan sebanyak 30%.

Bagi para pengusaha usaha hiburan, ada dua pilihan. Pertama, nurut dan ikut bekerja sama mematuhi aturan pembatasan sosial tetapi berjibaku dengan kerugian akibat minim pengunjung. Atau kedua, diam-diam bandel melanggar aturan namun dengan risiko tertangkap aparat dan mendapat sanksi setimpal. Sanksi itu, ya termasuk cemoohan dari masyarakat.

Di sisi lain, kelompok kedua adalah masyarakat tersebut.Masyarakat yang sangat memimpikan berakhirnya pandemi. Meski telah lelah menahan diri untuk menetap di rumah dan mematuhi segala protokol kesehatan, mereka dibuat kesal dengan adanya berbagai pihak yang masih nakal melanggar aturan, menciptakan kerumunan yang berpotensi memperparah penularan virus.

Buat masyarakat yang sudah menantikan hidup tanpa Covid-19, kasus-kasus pelanggaran pembatasan sosial itu bagai dosa tak termaafkan. Mereka tak memandang denda uang dan sanksi yang diberikan aparat pada pelakunya cukup sebagai ganti.

“Halah, 50 juta mah kecil buat bisnis macam Holywings. Semalem aja omzetnya berapa juta. Kaga ada artinya bayar segitu. Tuh buktinya langsung dibayar. Lagian mereka emang salah kok, ngapain dibelain.”

Kira-kira logika tersebut yang kerap hadir di pikiran masyarakat jika ada pihak yang berempati dengan bisnis usaha hiburan yang terjebak kasus pelanggaran prokes.

Para pengusaha tempat hiburan dan masyarakat yang sudah jengah akan kondisi pandemi, dualitas antara kedua kelompok ini seolah menjadi sorotan utama yang masuk dalam bingkai berbagai pemberitaan mengenai pembatasan sosial. Audiens dibiarkan berpikir bahwa apa yang terjadi dalam isu ini adalah sebatas perdebatan mengenai “pelanggaran” dan “sanksi yang layak”.

Logika tersebut terlihat dari pemilihan kata-kata yang digunakan beberapa media dalam penulisan judul berita. Misalnya, judul “Hollywings Kemang Langgar PPKM, Luhut: Tutup” atau “3 Kali Langgar Prokes, Holywings Kemang Ditutup Selama PPKM” dipakai untuk meng-highlight perdebatan tentang pelanggaran. Atau judul-judul seperti “Sesuai Arahan Anies, Holywings Kemang Cuma Ditutup Sementara”, “Sanksi Holywings Kemang Dinilai Tak Sebanding Dengan Kasus Rizieq”, dan “Batas Sanksi Holywings Kemang Diminta Tak Diperdebatkan” menjadi highlight dari perdebatan tentang sanksi yang layak.

Isu-isu mengenai pelanggaran dan sanksi yang layak terus-menerus ditekankan dan menjadi fokus pola artikel. Beberapa berita lain yang membahas kasus ini hanya mengenai kesalahanpahaman ucapan Anies Baswedan yang diklarifikasi oleh wakilnya. Penjelasan itu pun masih terkait pembahasan sanksi. Selebihnya, beberapa media malahan memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan trafik portalnya dengan menggunakan kata kunci Holywings pada judul yang membahas trivia-trivia tak terkait kasus. Misalnya membahas pose keren head chef yang jago masak atau kisah Hotman Paris yang pernah sempat ingin membeli sahan kafe bar itu.

Pembahasan utama kasus ini masih hanya bermuara pada tindak pelanggaran dan sanksi yang layak. Dan jelas-jelas, bahasan ini hanya melibatkan dualitas antara pengusaha usaha hiburan dan masyarakat yang aktif menentang pembukaan usahanya. Padahal selain dua grup ini, ada satu pihak yang patut diperhatikan namun berujung terabaikan. Pihak tersebut tak lain dan tak bukan adalah para buruh atau pekerja yang mengais rezeki melalui arena-arena hiburan.

Hak Pekerja pada Masa Pandemi

Mungkin para pemegang saham atau pemilik usaha-usaha hiburan besar yang dapat hukuman karena melanggar PPKM tidak terdampak masalah dengan beban denda puluhan juta yang harus dibayarkan. Penghentian kegiatan operasional hingga tenggat waktu tertentu pun barangkali masih mampu mereka tutupi dengan segala keuntungan yang diperoleh jauh sebelum pandemi menyerang. Namun apa kabar para buruh yang sumber penghasilannya hanya dari langkahan kaki dan cucuran keringat di tempat tersebut setiap hari?

Sebagai contoh, salah satu teman dari penulis yang berprofesi sebagai anggota grup musik yang rutin bermaindi Holywings beberapa kali menyampaikan keluhannya. Penutupan sementara dan pembatasan jam operasi tempat hiburan ini yang telah terjadi pada masa-masa pembatasan sosial sebelumnya saja sudah membuatnya kelimpungan. Apalagi kini tempat manggungnya sudah kena kasus besar. Rencana-rencana mengumpulkan uang dari bermusik setiap minggunya harus sirna di depan mata.

Padahal dalam sebuah modul yang dipublikasikan pada tahun 2020, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatatkan bahwa pekerja memiliki hak-hak yang dipahami sebagai kewajiban negara untuk membuat kebijakan yang secara progresif memperluas kesempatan atau lapangan kerja. Pekerja yang dimaksud di sini meliputi setiap orang yang bekerja, baik menerima upah ataupun bekerja secara independen. Serta mencakup mereka yang bekerja di sektor formal dan menerima upah rutin, maupun para pekerja musiman, pekerja mandiri, ataupun pekerja informal (ICJR, 2020).

Nyatanya, sejauh ini, para punggawa negeri seperti tak siap dengan serangan. Berdalih harus ada hal-hal yang dikorbankan untuk mengakhiri pandemi, penegakan hukum malah lebih banyak membawa kemalangan bagi mereka yang minim modal untuk bangkit kembali. Para pekerja arena hiburan yang aktivitas mencari uangnya terpaksa terhenti kini bagai tersesat, tak lagi punya sarana dan kesempatan untuk menyulap kemampuannya menjadi rupiah.

Sebenarnya sebagai respons dari dampak pandemi terhadap dunia usaha kerja, ILO telah menyusun suatu model kerangka kebijakan ‘empat pilar’ dengan berdasar pada standar-standar perburuhan internasional, yang sekaligus mengintegrasikan kerangka jaminan hak-hak pekerja. Tidak terkecuali bagi mereka yang bekerja di arena hiburan. Salah satu dari empat pilar tersebut, yakni pilar kedua meliputi dukungan terhadap perusahaan, pekerjaan, dan pendapatan. Salah satunya dengan melakukan perluasan perlindungan sosial untuk semua.

Selain itu ICESCR (dalam ICJR, 2020) juga mengeluarkan beberapa rekomendasi terkait perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja. Salah satu hal yang direkomendasikan adalah bagaimana negara harus mengambil langkah segera demi melindungi pekerjaan, jaminan, ataupun asuransi sosial dari para pekerja pada masa pandemi. Namun hingga kini kerangka dan rekomendasi masih saja jadi wacana semata. Belum ada langkah masif yang secara signifikan membantu para buruh keluar dari kelamnya dunia pengangguran.

Pers sebenarnya bisa saja mengangkat isu ini sebagai muara dari kasus-kasus pelanggaran pembatasan sosial pada masa pandemi di arena hiburan. Setidaknya hal tersebut akan menyadarkan masyarakat pada pihak lain yang terdampak. Selebihnya, kita bisa berharap isu tersebut diperbincangkan dan sampai ke telinga pemerintah untuk kembali dipertimbangkan solusinya.

Masalahnya media-media kita masih asyik mengarahkan kamera dan mikrofonnya pada pertarungan dua kubu yang sebelumnya dibahas. Entah memang murni kelupaan detail cerita lainnya mengenai para buruh, atau karena fokus yang sedang dibahas lebih seru digoreng dan mengandung drama perpolitikan?

Referensi

ICJR. (2020). Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Hak-Hak Pekerja: Sebuah Panduan Akses Terhadap Keadilan. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.

Published by

Novelia

Write for living. Tend to be interested in learning connection and interaction between creatures. Check my another features in mass media by visiting this link below: https://validnews.id/reporter/novelia

Leave a comment