Feminisme dalam Film Adaptasi The Little Prince

Pada tengah akhir tahun 2015, dunia perfilman kedatangan satu lagi kisah animasi. Ialah The Little Prince, sebuah kisah dengan nuansa petualangan yang memberi amanat berkesan tentang kehidupan. Tak ayal, meski dikategorikan sebagai cerita anak, kisah ini mampu menyentuh hati para pembaca dari lintas kalangan dan bahkan usia.

Bagi sebagian orang kisah ini sebenarnya sudah tidak asing, karena lebih dari tujuh puluh tahun selepas kisah mahakarya Antoine de Saint-Exupery ini hadir di dunia literatur. Saya sendiri secara pribadi telah akrab dengan kisah ini sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Buku dengan judul asli Le Petit Prince pertama kali diterbitkan secara resmi pada tahun 1943 dan pada buku cetakan terbarunya di tahun 2016, disebutkan bahwa ia telah disadur ke dalam 230 bahasa asing. Hingga Mark Osborne pada akhirnya mengadaptasi buku ini ke dalam bentuk film.

Menuai tidak sedikit pujian masyarakat karena dianggap menawarkan adaptasi yang cemerlang, saya justru tertarik dengan perkembangan cerita dalam film ini yang cukup memberikan jenjang dengan kisah aslinya dalam buku. Cukup berbeda dengan bukunya yang sebatas berisi pengalaman pemuda petualang yang bertemu dengan seorang pangeran cilik dari planet lain, film The Little Prince menghadirkan seorang wanita cilik, yang bahkan dimajukan sebagai peran utama, sebagai sosok teman pemuda tersebut (yang dalam film terkait digambarkan telah menjadi seorang kakek) dan pada akhirnya menyelamatkan dan membantu si pangeran dalam menghadapi berbagai rintangan dalam petualangan.

Kehadiran anak ini, ditambah dengan sosok ibu yang selalu ada dalam kehidupannya. Dikisahkan bahwa sosok ibunya ini membesarkan wanita cilik ini seorang diri, bekerja sebagai business woman yang disimbolkan dengan penampilannya sepanjang film yang dibalut rok pensil dan kemeja berbalut blazer. Sementara ayah dari si tokoh utama digambarkan secara minim sebagai pekerja nomaden (yang tidak dijelaskan apa profesinya), berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri lain, dan tidak memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan keluarganya. Ia ‘membayar’ peran ayahnya dengan cara selalu mengirimkan cindera mata sebagai permintaan maaf karena tidak dapat pulang.

Melalui berbagai medium, telah sejak lama wanita dikonstruksikan sebagai kelompok yang berperan pasif dalam institusi keluarga. Istri diposisikan untuk selalu berada di dapur atau mengurus anak dan urusan rumah tangga lainnya, yang sudah pasti dilakukan di rumah. Penggambaran sosok ibu dari wanita cilik ini sebagai single parent merupakan sebuah hegemoni tandingan yang berusaha diselipkan oleh Mark, bahwa pada realitasnya wanita mampu melakukan lebih dari yang diekspektasikan stereotipenya selama ini.

Dua poin sekaligus, karakter utama baru yang diserahkan pada wanita cilik, dan sosok ibunya yang membesarkannya seorang diri sebagai single parent, menghadirkan nuansa feminin dalam kisah yang orisinilnya justru didominasi sosok-sosok pria.

Mark menyisipkan pesan feminisme dalam adaptasi kisah yang telah eksis sejak lama melalui perkembangan cerita yang cukup apik. Sebenarnya telah banyak sekali hegemoni tandingan yang disajikan oleh para pejuang kelompok minoritas, dalam hal ini wanita, melalui berbagai media. Salah satunya adalah melalui film, baik memang dimaksudkan bersifat transnasional maupun dengan menyelipkan nilai-nilai tertentu dalam film. Namun dibandingkan menciptakan film yang sama sekali baru, Mark justru memanfaatkan karya yang telah dikenal khalayak luas untuk menanamkan pandangan tersebut.

Metode ini tentunya masih terasa cukup baru dalam proses produksi media transnasional. Penulis menganggap tren ini mungkin bisa terasa sebagai angin segar bagi para pejuang kelompok minoritas, sebuah pilihan yang lebih sederhana dibandingkan memroduksi cerita yang sama sekali masih baru. Namun tentunya kisah orisinilnya masih tetap harus terjaga. Jangan sampai strategi ini malahan membuat penggemar yang awalnya telah loyal dan mencintai bukunya justru tidak terpuaskan dan menganggap perkembangan plot ini merusak cerita aslinya.

Referensi:

Saint-Exupery, Antoine de. 2011. Le Petit Prince. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Screening:

The Little Prince (2015), film adaptasi oleh Mark Osborne

Published by

Novelia

Write for living. Tend to be interested in learning connection and interaction between creatures. Check my another features in mass media by visiting this link below: https://validnews.id/reporter/novelia

Leave a comment