Ketidaksetaraan : Salah Siapa?

Seorang guru olahraga berkata kepada seorang murid laki-lakinya yang baru saja menendang bola sepak, “Pelan banget nendangnya kayak cewe! Selanjutnya lebih keras lagi!”

Adegan tersebut terasa familiar dengan keseharian kita. Sudah sering rasanya kita melihat percakapan maupun aktivitas yang memperlihatkan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak. Namun ada perbedaan: laki-laki dituntut untuk tidak berperilaku seperti perempuan; ia akan dikucilkan dan diolok-olok, tapi jika perempuan berperilaku seperti laki-laki seakan lebih diampuni. Hal ini memperlihatkan adanya ketidaksetaraan antara keduanya, laki-laki dianggap lebih tinggi posisinya sehingga tidak boleh turun ‘tahta’.

Contoh tersebuh hanyalah salah satu contoh inequality yang telah terstruktur di masyarakat. Sebenarnya tidak hanya menyangkut laki-laki dan perempuan, banyak sekali ketidaksetaraan yang terjadi. Yang tersering ada pada tiga tataran, yaitu kelas, ras, dan jender.

Akhirnya muncul pertanyaan; bagaimana ketidaksetaraan antar berbagai kelas, ras, dan jender, yang seringkali merugikan kerugian pada kubu tertentu, ini masih terus berjalan hingga kini? Siapa yang bertanggung jawab atas konstruksi stereotipe kita akan suatu kelompok? Apakah ini murni karena pengaruh-pengaruh di luar diri kita, seperti hegemoni dari significant others serta terpaan media? Jawabannya tidak. Nyatanya fenomena structured inequality ini terkait erat dari teori strukturasi Anthony Giddens. Giddens mengartikan tindakan seseorang sebagai akibat dari produksi dan reproduksi dalam sebuah sistem terstruktur, serta hasil dari interaksi antara struktur dan agen itu sendiri. Kedua aspek tersebut, agen dan struktur, saling memengaruhi dan bahkan mampu saling merubah melalui interpretasi (penafsiran akan suatu perilaku), fasilitas kekuasaan (power), dan norma-norma dan aturan berlaku. Jadi bukan hanya sistem dan faktor eksternal yang memengaruhi kita, namun juga diri kita sendiri.

lightfoot

Film dokumentasi The Celluloid Closet (1995) arahan Rob Epstein dan Jeffrey Friedman cukup menggambarkan keterkaitannya. Dalam filmini, penonton digiring untuk melihat bagaimana kelompok LGBT diposisikan tersembunyi di layar sinematografi. Dengan tersembunyi, berarti diperlihatkan bagaimana mereka bersikap dan berperilaku, namun tidak dibuat jelas seksualitasnya. Tidak jarang juga mereka digambarkan secara negatif seperti pedofil, atau pemburu perawan. Kematian mereka pun digambarkan hanya memiliki dua pilihan: dibunuh secara brutal atau bunuh diri.

Meskipun kini sudah lebih diterima, isu LGBT masih menjadi ketakutan, baik bagi para penonton sebagai agen yang menerima terpaan, maupun para pembuat film sebagai bagian struktur yang memiliki hak mengimlementasi konsep. Para pembuat film masih ragu untuk menampilkannya, meski di sisi lain, kelompok LGBT itu sendiri haus akan representasi mereka di media. Salah satu kasus dalam dokumentasi ini memperlihatkan bagaimana sebuah film harus menghilangkan kisah homoseksual ketika ditulis ulang, karena khawatir aktor yang memerankan tidak ingin terlibat dalam film karena ketakutan dicap sebagai gay. Kecemasan ini didukung pula dengan kondisi penonton mayoritas heteroseksual yang banyak mengecam film dengan tema LGBT.

Dalam kasus ini terasa bagaimana interpretasi sekelompok agen memengaruhi sistem yang ada. Stereotipe yang telah terbentuk dan terkonstruksi sejak lama, secara sengaja atau pun tidak, diamalkan secara berulang lewat berbagai tindakan sehingga memberikan dampak pada struktur yang sedang berjalan. Suatu struktur tidak harus berwujud, namun yang terpenting melingkupi si agen. Interpretasi kelompok heteroseksual sebagai mayoritas terhadap kelompok LGBT, atau bahkan interpretasi kelompok LGBT terhadap diri mereka sendiri, didukung kekuasaan dari pihak luar (media, lingkungan, sistem edukasi), menuntun bagaimana mereka kembali direpresentasikan.

Agen dan struktur merupakan dualitas yang tidak terpisahkan. Perpaduan keduanya memengaruhi tindakan seseorang. Begitu pula dengan seseorang, meliputi stereotipe yang ada di kepalanya, dan faktor-faktor eksternal, seperti terpaan media dan hegemoni lingkungan dan keluarga. Perilaku kita, yang tak jarang menggambarkan stereotipe yang ada, memengaruhi bagaimana kita melihat media dan lingkungan. Sebaliknya media dan faktor-faktor struktural di luar diri kita pun memiliki peran mengonstruksi stereotipe. Keduanya saling bersimbiosis dan memengaruhi seperti lingkaran tak berujung. Lalu, masihkah kita bisa menuduh siapa yang salah?

Referensi:

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th ed. Belmont, CA: Wardsmorth.

Arighi, Barbara (Ed). 2007. Understanding Inequality: Intersection of Race/Ethnicity, Class, and Gender.

Screening:

The Celluloid Closet (1995), film dokumentasi arahan Rob Epstein dan Jeffrey Friedman.

Published by

Novelia

Write for living. Tend to be interested in learning connection and interaction between creatures. Check my another features in mass media by visiting this link below: https://validnews.id/reporter/novelia

Leave a comment