Representasi dan Stereotipe

Mendengar ‘Amerika Serikat’, kebanyakan dari kita akan membayangkan orang-orang kulit putih sebagai penghuni negara tersebut. Padahal sebenarnya masih ada beberapa ras lain yang menduduki tanah tersebut yang keberadaannya salah satunya dapat terlihat melalui media populer seperti TV, film, dan musik. Ironinya, melalui media-media ini tergambar pula bagaimana ras Amerika-Eropa, atau yang sebelumnya disebut dengan kulit putih, mengopresi kehadiran ras-ras lain yang menjadi minoritas.

Studi di akhir abad ke-20 memperlihatkan hanya dua dari sepuluh anak-anak kelompok ras Amerika Latin dan Amerika-Asia, dan empat dari sepuluh kelompok ras Amerika-Afrika, yang menyatakan mereka sering melihat kelompok ras mereka di TV; jumlah yang kalah cukup besar dibanding tujuh dari sepuluh anak-anak ras Amerika-Eropa. Ini menjadi salah satu contoh bagaimana kaum-kaum minoritas yang bervariasi tersebut teropresi, seolah media menyatakan bahwa mereka tidak terlalu penting dan menarik.

Selain kuantitas kehadiran dan jam tayang mereka yang sangat minim bila dibandingkan dengan Amerika-Eropa, terjadi juga anihilasi simbolik, yaitu keadaan di mana kemunculan mereka di media-media tersebut diselimuti stereotip atau pesan negatif.

Amerika-India digambarkan sebagai sosok yang selalu menjadi tangan kanan pemeran utama, yang mana adalah seorang Amerika-Eropa (contoh film dan program TV The Lone Ranger). Para aktor dan pemusik Amerika-Asia mengalami kesulitan dalam mengembangkan karirnya jika mereka tidak berdarah multirasial dengan kaum kulit putih. Aktor Amerika Latin yang memiliki ‘wajah Amerika-Eropa’ akan lebih mudah untuk terpilih untuk memainkan peran sebagai Amerika-Eropa, atau ditampilkan sebagai sosok dengan etnik yang tidak dijelaskan dalam film/program.

Kelompok Amerika-Afrika mungkin dapat dikatakan sebagai yang paling teropresi di antara ras-ras minoritas lainnya yang menduduki Amerika Serikat. Sebuah tayangan dokumenasi yang berjudul Ethnic Notions (1986), diproduksi oleh Marlon Riggs, membahas berbagai tekanan yang dialami kaum yang sering diasosiasikan sebagai kulit hitam ini. Setidaknya ada tiga stereotipe besar ras ini yang menjadi pokok tayangan Ethnic Notions: (1) jelek, (2) kelompok primitif yang liar, dan (3) pelayan/pembantu yang loyal dan bahagia.

Meskipun pada kenyataannya tidak semua, namun kaum ini disudutkan dengan penggambaran fisik yang jelek: memiliki kulit hitam pekat, bibir yang tebal, gigi dan mata melotot yang sangat putih dan kontras dengan kulitnya. Sosok yang berseberangan dengan figur yang dianggap ideal ini disukai sebagai lelucon oleh masyarakat di sana. Tak ayal mereka seringkali tampil sebagai pemeran komedi yang suka melempar kelakar, senang bernyanyi dan menari, dan berkelakuan konyol, atau bahkan bodoh.

Kaum kulit hitam juga seringkali digambarkan sebagai suku primitif yang liar. Mereka diperlihatkan menutupi bagian vital tubuh mereka dengan pakaian yang minim, atau bahkan hanya dedaunan, dan seringkali dilengkapi dengan tombak di tangan masing-masing.

Selain itu, yang masih seringkali kita temui di layar kaca hingga hari ini, adalah bagaimana mereka hampir selalu diposisikan sebagai seorang pesuruh/pembantu rumah tangga yang sangat setia dan bahagia dalam melayani tuan dan nyonya rumahnya. Sosok ini biasanya digambarkan dengan figur wanita kulit hitam berbadan tambun.

Ketiga stereotip ini ditampilkan di berbagai media, dari mulai televisi, film, buku anak, dll. Tidak hanya dalam pertunjukan dan dimainkan secara nyata, namun juga dalam berbagai tayangan kartun. Dan di sinilah ancaman terbesar muncul sebagai dampaknya.

Bahkan seorang dewasa pun, bila tidak mempelajari literasi media, mungkin akan terhanyut bila disuguhkan tayangan atau media-media yang rasis seperti ini. Bukan hanya audiens kulit putih, bahkan kelompok minoritas itu sendiri akan merasa pasrah karena terbiasa dan percaya bahwa yang ada di media sebagai sesuatu yang normal.

Apalagi bila audiensnya anak-anak. Stereotipe yang secara tersembunyi disisipkan dalam berbagai kartun dan buku cerita perlahan tertanam dalam pikiran anak-anak. Sehingga dikhawatirkan, atau mungkin sudah terjadi, anak-anak akan tumbuh pribadi yang akrab dengan tindak diskriminasi terhadap kelompok etnik berbeda, khususnya minoritas.

Untuk itulah kemudian literasi media dan peran orangtua terkait media-media yang menyentuh dan digunakan anak lebih ditekankan. Orangtua tidak dapat lengah dengan hanya mendampingi anaknya pada program berlabel BO (Bimbingan Orangtua), karena ternyata pada tayangan yang diperuntukkan khusus bagi anak sekalipun masih banyak nilai-nilai negatif yang mungkin perlu dihindari.

Referensi

Holtzman, Linda and Leon Sharpe. 2014. MEDIA MESSAGES: What Films, Television, and Popular Music Teach Us About Race, Class, Gender, and Sexual Orientation. New York: M.E. Sharpe.

Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practice. London: SAGE Publication.

Ethnic Notions (1986), dari https://www.facinghistory.org/videos/ethnic-notions.

Published by

Novelia

Write for living. Tend to be interested in learning connection and interaction between creatures. Check my another features in mass media by visiting this link below: https://validnews.id/reporter/novelia

Leave a comment